May 10, 2025

KUFUR NIKMAT

Ilustrasi siluet seseorang menatap cahaya di ujung lorong gelap, simbol perlawanan terhadap penilaian dunia

“Aku memilih untuk tetap hidup — bukan karena semuanya baik-baik saja, tapi karena aku tidak ingin mati sia-sia.”

Seorang manusia biasa. Anak dari orang tua yang baik, namun kadang tak mengerti bahwa ingin hidup lebih baik bukanlah bentuk pemberontakan, tapi justru penghargaan atas kehidupan itu sendiri.

🧠 Pemikiran yang Membentukku

  • Hidup bukan sekadar bertahan. Itu insting. Aku ingin makna.
  • Syukur bukan kepasrahan. Syukur adalah menggunakan nikmat — waktu, akal, tubuh — untuk berjalan lebih jauh.
  • Ingin lebih bukan berarti kufur. Itu tanda bahwa aku sadar: hidup masih punya peluang.

🧩 Praktik Syukur Versiku

  • 🌅 Bangun setiap pagi dengan niat tidak menyerah — meski ingin rebah.
  • 🧠 Belajar hal baru karena aku percaya perubahan itu mungkin.
  • ✍️ Menulis untuk menyusun kekacauan pikiranku, bukan agar dipahami, tapi agar aku tak hilang.

📖 Mantra Eksistensial

  • “Kita harus membayangkan tetap hidup.” (adaptasi dari Camus)
  • “Aku bukan penyangkal nikmat. Aku hanya tidak ingin berhenti di sini.”
  • “Jika hidup ini hadiah, maka aku akan menggunakannya — bukan mengembalikannya dalam keadaan utuh.”

🎭 Jika Kau Menyebutku Kufur…

Lihatlah: aku tidak menyia-nyiakan hidup ini. Aku justru ingin lebih hidup dari hidup itu sendiri.
Aku tidak diam. Aku bergerak. Aku tidak pasrah. Aku berjalan. Karena aku tahu: inilah bentuk syukur paling jujur yang bisa kulakukan.

☁️ Arahku

Menjadi manusia yang tetap utuh di tengah dunia yang sibuk menyuruh untuk patuh. Yang memilih untuk tetap hidup, bukan karena mudah, tapi karena masih mungkin.

“Mereka menyebutku kufur nikmat. Tapi aku tahu, aku justru sedang sangat menghargai hidup: dengan cara yang paling jujur — yaitu tetap hidup.”

Karena aku tidak puas dengan hidup yang stagnan.
Karena aku mengeluh. Karena aku ingin hidup lebih baik.
Karena aku ingin tenang.

Tapi sejak kapan keinginan untuk hidup lebih layak adalah kejahatan?
Sejak kapan perjuangan disebut dosa?

Aku tidak menolak nikmat.
Aku menyadarinya—bahkan mungkin lebih dari mereka yang menuduhku.

Aku bangun pagi bukan karena aku mencintai pagi,
tapi karena aku tahu: aku belum mati.
Masih ada waktu. Masih ada kemungkinan.
Itulah nikmat yang kusebut “kesempatan”.

Mereka bilang, “Lihatlah yang di bawah.”
Tapi aku sedang di bawah.
Dan aku tidak ingin tinggal di sana.

Jika syukur artinya diam dan menerima semua luka,
maka itu bukan syukur. Itu ketakutan. Itu penjara.

Aku tidak membenci hidup.
Aku hanya tidak ingin hidup ini jadi sia-sia.
Dan jika ingin lebih baik disebut kufur nikmat,
maka aku bertanya: siapa sebenarnya yang tidak memahami makna syukur?

Syukur bukan sekadar ucapan.
Syukur adalah tindakan:
Menggunakan hidup untuk hidup.
Bukan hanya bertahan. Tapi berjalan. Berjuang. Bertumbuh.

Jika aku tidak bersyukur,
maka aku tidak akan di sini, menulis ini.
Aku sudah lama pergi.

Tapi aku masih di sini.
Masih percaya bahwa aku bisa,
bahwa hidup layak untuk diperjuangkan —
meski dengan airmata dan napas tercekat.

Mereka menyebutku kufur nikmat.
Tapi aku tahu, aku justru sedang sangat menghargai hidup:
dengan cara yang paling jujur — yaitu tetap hidup.

— ihsanomia / shine shine mode

Share